Saqifah Bani Sa'idah
Bagian dari seri tentang |
Muhammad |
---|
|
Saqifah (bahasa Arab: سَّقِيفَة, translit. Saqīfah, har. 'halaman') klan Bani Sa'idah adalah suatu peristiwa yang terjadi pada era Islam awal, tidak lama setelah kematian nabi Islam Muhammad pada tahun 11 H (632 M). Pada peristiwa ini, beberapa orang sahabat Muhammad berjanji setia kepada Abu Bakar sebagai khalifah pertama dan penerus Muhammad. Pertemuan Saqifah adalah salah satu peristiwa yang paling kontroversial dalam sejarah Islam awal, karena kesepakatan pada pertemuan ini tidak melibatkan sejumlah besar sahabat Muhammad, keluarga dekatnya dan yang paling menonjol, Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantunya. Konflik setelah kematian Muhammad dianggap sebagai akar perpecahan di kalangan umat Islam saat ini. Mereka yang menerima kekhalifahan Abu Bakar kemudian diberi label Sunni, sedangkan pendukung hak kekhalifahan Ali kemudian membentuk Syiah. Peristiwa Saqifah mengawali masa pemerintahan Abu Bakar yang singkat, Abu Bakar mengirimkan ekspedisi ke Suriah dan memerangi suku-suku yang murtad setelah kematian Muhammad. Pemerintahannya berakhir ketika ia meninggal dunia pada tahun 634 M.
Catatan sejarah
Kata Arab Saqīfah secara harfiah bisa diartikan sebagai sebuah tempat komunal tertutup yang digunakan untuk menyelenggarakan sebuah percakapan. Akan tetapi, istilah ini cenderung merujuk ke sebuah peristiwa pertemuan khusus yang terjadi segera setelah kematian Muhammad untuk memperdebatkan penerusnya.[1]
Laporan yang bias
Laporan paling awal tentang peristiwa Saqifah ditulis pada paruh pertama abad kedua Hijriyah atau sesudahnya. Saat ini, komunitas Muslim terbagi menjadi kubu Sunni dan Syiah. Akibatnya, laporan Sunni Ibnu Sa'ad, al-Baladzuri, dan bahkan ath-Thabari mencerminkan keyakinan Sunni, sementara para penulis yang merupakan simpatisan Syiah menyukai pandangan Ibnu Ishaq, al-Ya'qubi, dan al-Mas'udi.[2] Sejarawan Husain Mohammad Jafri menekankan bahwa semua laporan harus disurvei secara teliti untuk mendapatkan penjelasan terbaik tentang alur peristiwa tersebut.[3]
Misalnya, Ibnu Sa'ad menyajikan laporan yang sangat polemik tentang peristiwa Saqifah dalam Kitab at-Tabāqat al-Kabīr,[4] yang menyatakan bahwa Ali tidak hadir dalam peristiwa tersebut.[1] Sejarawan Syiah, Husain M. Jafri menganggap Ibnu Sa'ad sebagai pelopor teknik penulisan "kesalehan" Sunni,[4] yang hanya mempertahankan sifat-sifat terbaik dari para sahabat dan menekan setiap laporan kontroversial tentang mereka.[5] Meskipun begitu, banyak karya Syiah al-Thabarsi dan al-Majlesi cenderung bersifat polemik dan hanya memiliki sedikit nilai sejarah.[6]
Sentralitas Ibnu Ishaq
Laporan paling awal dari Ibnu Ishaq dalam Sīrah Rasūlullāh miliknya, yang direvisi oleh sejarawan Sunni Ibnu Hisyam adalah catatan sejarah pertama mengenai Saqifah yang sampai kepada masyarakat saat ini. Namun, Ibnu Hisyam tidak melakukan pengubahan terhadap catatan Ibnu Ishaq tentang peristiwa Saqifah seperti yang biasa dilakukannya pada tulisan lain saat menyunting Sīrah Rasūlullāh, meskipun laporan tersebut ditulis oleh seorang penulis Syiah yang juga disetujui oleh mayoritas penulis Sunni.[6] Catatan Ibnu Ishaq adalah dasar studi kontemporer Jafri dan Madelung.[6][7]
Penulis lain
Dalam bukunya Ansāb al-Asyrāf,[4] sejarawan Sunni al-Baladzuri mengikuti sebagian teknik penulisan "kesalehan" Ibnu Sa'ad tetapi juga mempertahankan beberapa materi kontroversial tentang peristiwa Saqifah.[8] Di sisi lain, konten kontroversial dalam karya Syiah al-Ya'qubi ditolak oleh mayoritas sejarawan Sunni yang menyebutnya sebagai versi palsu. Sedangkan, Jafri memandang karya al-Ya'qubi sebagai kumpulan dokumen berharga yang selamat dari upaya tendensius mayoritas sejarawan Sunni yang secara masif menekan atau menghilangkan pandangan yang berbeda.[9] Madelung juga percaya bahwa keberpihakan Syiah atau Sunni atas sebuah laporan saja tidak menyiratkan pemalsuan laporan tersebut.[10] Kisah pertemuan Saqifah yang ditulis oleh sejarawan Sunni ath-Thabari dinilai lebih seimbang, tidak memihak, dan lebih mendetail.[11][6]
Ibnu Abbas
Narator utama dari peristiwa Saqifah adalah Ibnu Abbas, sepupu Muhammad dan otoritas cendekiawan Islam di Madinah. Dia menyaksikan langsung peristiwa itu dan juga menerima laporan langsung dari ayahnya, Abbas bin Abdul Muthalib, yang saat itu aktif dalam politik.[12] Madelung menerima keaslian narasi Ibnu Abbas dan mencatat bahwa narasi itu mencerminkan sudut pandangnya yang khas.[7] Sebagian besar narasi Ibnu Abbas menyangkut khotbah Jumat oleh khalifah kedua, Umar bin Khattab (m. 634–644) pada 23 H/644 M.[7] Meskipun narasi ini dihilangkan dari sebagian besar laporan Sunni, Madelung dan Jafri yakin bahwa Umar menyampaikan pidato tersebut untuk mematahkan semangat mereka yang mungkin berencana mendukung pencalonan Ali sebagai khalifah setelah kematiannya nanti.[13][14]
Peristiwa
Selama masa hidup Muhammad, Muslim di Madinah terbagi menjadi dua kelompok: Muhajirin, yang masuk Islam di Makkah dan bermigrasi ke Madinah bersama Muhammad; kemudian Anshar, yang berasal dari Madinah dan telah mengundang Muhammad untuk memerintah kota mereka.[15]
Pertemuan Anshar
Segera setelah kematian Muhammad pada 632 M, kaum Ansar menyelenggarakan sebuah pertemuan di Saqifah (terj. har. 'halaman') klan Bani Sa'idah,[16] sementara keluarga Muhammad bersiap untuk pemakamannya.[17] Kepercayaan umum pada saat itu meyakini bahwa kaum Anshar bertemu di sana untuk memutuskan pemimpin baru bagi komunitas Muslim di antara mereka sendiri, dengan mengesampingkan Muhajirin secara sengaja. Hal ini juga disampaikan Umar dalam sambutannya.[18] Kandidat utama mungkin Sa'ad bin Ubadah,[19] seorang sahabat Muhammad dan pemimpin Banu Khazraj, suku mayoritas Anshar, yang sedang sakit pada hari itu.[20]
Bagi Madelung, ketidakhadiran Muhajirin malah menunjukkan bahwa Anshar bertemu untuk membangun kembali kendali mereka atas Madinah dengan keyakinan bahwa sebagian besar Muhajirin akan kembali ke Makkah mengikuti Muhammad.[18] Sejumlah sejarawan modern juga mencurigai bahwa Anshar bertemu terlebih dahulu karena mereka takut akan dominasi Muhajirin yang mungkin telah menyadari rencana pembentukan kembali pemerintahan mereka.[21][22][23]
Abu Bakar di Saqifah
Di antara tiga hadis yang menjabarkan pertemuan Saqifah, Jafri memilih salah satu hadis yang muncul di hampir semua sumber awal. Hadis tersebut menyatakan bahwa kabar mengenai pertemuan Saqifah sampai ke Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah ketika mereka kemungkinan besar sedang berada di rumah Abu Ubaidah, kemungkinan untuk membahas krisis kepemimpinan.[24] Arnold dan Jafri yakin bahwa Abu Bakar dan Umar sebelumnya telah merencanakan atau membentuk aliansi untuk mengantisipasi krisis suksesi setelah kematian Muhammad,[25][26] sedangkan Madelung menyatakan bahwa hanya Abu Bakar yang melakukan perencanaan tersebut.[27] Dalam laporan Ibnu Ishaq, seseorang kemudian memberi tahu Abu Bakar dan Umar tentang pertemuan Saqifah, "Jika Anda ingin memimpin rakyat, ambillah kesempatan ini sebelum tindakan mereka [Anshar] menjadi serius."[17] Keduanya kemudian bergegas ke Saqifah, ditemani oleh Abu Ubaidah, mungkin untuk mencegah hal-hal yang tidak terduga.[24] Umar melaporkan bahwa sejumlah Anshar mengatakan kepada mereka untuk tidak perlu datang ke pertemuan, tetapi mereka tetap mendesak untuk menghadiri pertemuan tersebut.[20][24]
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa bahwa kaum Muhajirin bergabung dengan Abu Bakar, dan kemudian Umar menyarankan agar mereka pergi ke Anshar berkumpul di Saqifah. Madelung menolak cerita ini dan menyatakan bahwa hanya Abu Bakar, Umar, dan Abu Ubaidah yang merupakan anggota Muhajirin dalam pertemuan Saqifah, meskipun terdapat kemungkinan bahwa mereka turut didampingi oleh beberapa orang kerabat dan keluarga mereka. Bagi Madelung, hampir tidak adanya Muhajirin di Saqifah juga menjelaskan mengapa tidak ada laporan lain tentang peristiwa tersebut, dengan alasan bahwa kaum Anshar pasti enggan menceritakan kekalahan mereka nanti.[28]
Pernyataan Abu Bakar
Sesampai di sana, Umar mengatakan dia "menyadari bahwa mereka [Anshar] bermaksud untuk memotong kita dari akar kita [yakni, Quraisy] dan merebut kekuasaan dari kita."[20] Abu Bakar kemudian bangkit dan memperingatkan kaum Anshar bahwa bangsa Arab tidak akan mengakui kekuasaan siapapun di luar suku Muhammad yaitu suku Quraisy. Menurut Abu Bakar, Muhajirin adalah yang terbaik dari orang Arab dalam hal garis keturunan dan lokasi,[29] seperti yang telah dikutip oleh Ibnu Ishaq.[17] Abu Bakar juga menyatakan bahwa Muhajirin telah masuk Islam lebih awal dan lebih dekat dengan Muhammad dalam hal kekerabatan.[30] Hubungan suku Quraisy dengan Muhammad juga dicatat oleh al-Ya'qubi[29] ath-Thabari,[31] dan juga oleh sejarawan kontemporer Moojan Momen.[32] Madelung menganggap bahwa tidak mungkin Abu Bakar membawakan topik mengenai kekerabatan Quraisy dengan Muhammad karena hal itu akan mengundang pertanyaan tentang hak Bani Hasyim, klan Muhammad dan kerabat terdekatnya.[33]
Kembali ke catatan Ibnu Ishaq, Abu Bakar kemudian dikabarkan mengajak kaum Anshar untuk memilih Umar atau Abu Ubaidah sebagai penerus Muhammad. Umar melaporkan bahwa dia tidak senang dengan tawaran ini karena dia menganggap Abu Bakar lebih berhak memerintah daripada dirinya sendiri.[29] Madelung menganggap ini sebagai manuver Abu Bakar untuk menampilkan dirinya sebagai alternatif yang dapat diterima oleh Anshar, Madelung juga menambahkan bahwa Abu Ubaidah kurang dikenal masyarakat secara luas sementara Umar tampaknya baru saja mendiskreditkan dirinya sebelum pertemuan dengan menyangkal kematian Muhammad di depan umum.[34]
Kekerasan di Saqifah
Catatan Ibnu Ishaq menyebutkan bahwa Habbab bin Mundzir, seorang veteran Pertempuran Badar, membalas Abu Bakar dengan saran agar kaum Quraisy dan Anshar harus memilih penguasa mereka yang terpisah di antara mereka sendiri.[18][35] Berdasarkan laporan Umar, perdebatan sengit kemudian terjadi sampai dia meminta Abu Bakar untuk mengulurkan tangannya dan berjanji setia kepadanya dan diikuti oleh orang-orang yang hadir. Sebuah argumen yang dikaitkan dengan Umar kemudian menceritakan bahwa orang-orang yang hadir kemudian menyerang pendukung Sa'ad hingga salah seorang yang hadir berteriak "Sungguh kalian telah membunuh Sa'ad."[18]
Ledakan kekerasan di Saqifah menunjukkan bahwa sejumlah besar kaum Ansar awalnya menolak untuk mengikuti jejak Umar. Jika tidak, maka mereka tidak perlu memukuli pemimpin mereka Sa'ad bin Ubadah.[36] Sa'ad sendiri tetap menolak mengakui pemerintahan Abu Bakar sampai dia meninggal dunia pada masa pemerintahan Umar.[37][1][38][11]
Ali
Absen dari Saqifah
Sepupu dan menantu Muhammad, Ali bin Abi Thalib sedang mempersiapkan jenazah Muhammad untuk dimakamkan bersama kerabat dekat lainnya, dan sepertinya tidak mengetahui mengenai berlangsungnya pertemuan Saqifah.[39][32] Mengikuti janji setia Umar kepada Abu Bakar, riwayat peristiwa Saqifah dari an-Nakha'i menambahkan, "Tetapi orang-orang Anshar, atau beberapa orang [dari Anshar], berkata: 'Kami tidak akan bersumpah setia kepada siapa pun kecuali Ali.'" Caetani menolak laporan ini karena cenderung berpihak ke doktrin Syiah, sementara Madelung menerimanya dengan mencatat bahwa an-Nakha'i bukan perawi Syiah dan riwayatnya jelas-jelas Sunni.[38] Demikian pula, al-Ya'qubi menulis bahwa al-Mundzir bin Arqam menghentikan diskusi untuk sementara dan menominasikan Ali sebagai penerus Muhammad.[40][41] Sejumlah sejarawan kontemporer mencatat bahwa terdapat sebagian orang yang tetap bersikeras mendukung Ali selama pertemuan Saqifah.[42][40][32]
Madelung tidak yakin apakah suksesi Ali telah dibahas di Saqifah,[38] tetapi menganggap bahwa dukungan Anshar lama-kelamaan akan berpindah kepada Ali karena ikatan kekerabatan Ali dengan Muhammad, sebagai sepupu dan menantunya.[43] Lebih lanjut, Madelung menjelaskan bahwa ibu Abdul Muthalib, yaitu Salma binti Amr adalah seorang Khazraj, dan hal ini menunjukkan bahwa Anshar juga memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dengan Muhammad.[43] Umar dalam khotbahnya menjelaskan bahwa mereka telah mendesak Anshar untuk segera bersumpah setia di Saqifah karena menurutnya, mereka mungkin telah memilih salah satu dari mereka sendiri untuk menggantikan Muhammad.[36] Mengacu pada klaim ini, terdapat kemungkinan bahwa Umar takut kaum Anshar akan menominasikan Ali sebagai pemimpin mereka sendiri.[30][44]
Kasus Ali
Syura
Madelung berpandangan bahwa Ali adalah kandidat khalifah terkuat, dan syura sendiri akan menominasikan Ali sebagai khalifah, sementara Anshar akan mendukung Ali karena hubungan kekerabatannya dengan Muhammad.[45][46] Di kalangan Muhajirin sendiri, pencalonan Ali akan mendapat dukungan dari klan Bani Abdu Syams (termasuk Bani Umayyah) yang merupakan salah satu klan Quraisy terkuat, hal ini juga dikarenakan hubungan dekat Bani Abdu Syams dengan Bani Hasyim.[45] Pemimpin klan Bani Abdu Syams, Abu Sufyan telah menawarkan dukungannya kepada Ali setelah aksesi Abu Bakar,[47][48] namun ditolak oleh Ali yang mengatakan bahwa dia khawatir apabila dia menjadi saingan politik Abu Bakar malah akan mengancam kesatuan umat Islam yang telah disatukan di bawah pemerintahan Abu Bakar.[47] Dukungan bersama Anshar dan Bani Abdu Syams tidak diragukan lagi akan membuat Ali secara mutlak diakui sebagai khalifah. Syura umum yang mendukung Ali juga akan secara otomatis memilih keturunan Ali sebagai penggantinya kelak.[49] Beberapa sejarawan juga menganggap Ali kemungkinan besar akan terpilih dalam majelis formal.[44]
Kelebihan
Dalam hal manfaat, argumen yang sama yang mendukung Abu Bakar daripada Anshar (kekerabatan, pengabdian kepada Islam, garis keturunan, dll.) bisa dibilang lebih memihak Ali daripada Abu Bakar,[26][19] seperti yang sering dikemukakan oleh para penulis Syiah untuk mendukung hak penerus Ali.[19] Bagi Jafri, argumen Sunni yang membenarkan kekhalifahan Abu Bakar atas dasar bahwa dia memimpin salat di hari-hari terakhir Muhammad mencerminkan perkembangan teologis selanjutnya.[26] Dengan nada yang sama, Lecomte menulis bahwa Muhammad menghormati Abu Bakar tetapi menganggap kisah Abu Bakar memimpin salat itu tidak meyakinkan karena tidak secara formal berhubungan dengan kepemimpinan politik masyarakat.[1] Shaban melangkah lebih jauh dan tidak menganggap penting kisah Abu Bakar memimpin salat, dengan mengatakan bahwa Muhammad telah sering mendelegasikan tugas ini kepada orang lain di masa lalu.[50]
Usia muda
Argumen umum oleh para sarjana Sunni dan Barat adalah bahwa Ali masih muda pada saat itu, karena ia berusia sekitar tiga puluh tahun,[51] Ali tentu tidak bisa menjadi kandidat serius untuk posisi khalifah.[52][53] Ini adalah pandangan Veccia Vaglieri,[48] Lammens, dan juga Shaban,[54] yang menyatakan bahwa Ali belum pantas untuk memikul tanggung jawab tersebut.[50] Sebaliknya, Aslan berpendapat bahwa Ali pernah mengambil tanggung jawab utama meskipun masih muda ketika Muhammad masih hidup, seperti pada Ekspedisi Tabuk.[51] Alternatifnya, Madelung berpendapat bahwa masa muda Ali hanya penting jika ada kesepakatan tentang suksesi keturunan Muhammad.[52]
Dalam Al-Qur'an
Dalam Al-Qur'an, keluarga dan kerabat para nabi di masa lalu diberikan peran penting.[55] Setelah kematian para nabi, kerabat mereka dipilih oleh Allah sebagai pewaris spiritual dan material para nabi.[56][57] Keluarga Muhammad (Ahlul Bait) sama-sama mendapatkan posisi terkemuka dalam Al-Qur'an.[58][59][60] Dengan demikian, mayoritas Syiah berpendapat bahwa pengganti Muhammad tentu tidak berbeda dari penerus para nabi di masa lalu sehingga mereka tidak menganggap Abu Bakar sebagai penerus alaminya.[61][62][63]
Pandangan Ali
Veccia Vaglieri tidak yakin apakah Ali benar-benar berharap untuk menggantikan Muhammad karena dalam sumber Sunni tidak ada catatan bahwa dia tidak berusaha untuk merebut kekuasaan, meskipun Abbas dan Abu Sufyan telah menyarankannya untk melakukan hal tersebut.[48] Alternatifnya, Ayoub menggambarkan penentangan ringan Ali dalam sumber-sumber Sunni sebagai apologetika.[64] Sejarawan modern berpendapat bahwa Ali memandang dirinya sebagai orang yang paling memenuhi syarat untuk memimpin komunitas Muslim setelah Muhammad berdasarkan jasa dan kekerabatannya dengan Muhammad.[64][65][66][67][68] Mereka berpendapat bahwa Ali pada akhirnya melepaskan klaimnya atas kekhalifahan demi persatuan Islam dalam masa-masa krisis tersebut dan ia melihat bahwa umat Islam tidak terlalu aktif mendukung aksesinya.[69][70][71] Jika komunitas Muslim menyukai Ali, dia tidak lagi menganggap kekhalifahan hanya sebagai haknya, tetapi juga sebagai kewajibannya.[69] Meskipun dalam berbagai pidato dan surat yang dikaitkan dengan Ali, ia berulang kali menekankan bahwa kepemimpinan komunitas Muslim adalah hak prerogatif keluarga Muhammad (Ahlul Bait).[72]
Mavani, Madelung, dan Shah-Kazemi menambahkan bahwa Ali menganggap dirinya sebagai penerus yang ditunjuk Muhammad melalui keputusan ilahi di Ghadir Khum.[73][74][68][46] Selain itu, Ali dan beberapa orang lainnya memang menganggap dirinya paling mumpuni untuk memimpin.[75] Untuk mendukung klaimnya, Madelung mengutip pernyataan Sunni yang dikaitkan dengan Ali ketika dia berbai'at kepada Abu Bakar setelah lama menunda bai'atnya.[69] Dia juga mencatat bahwa Ali baru secara terbuka menyebut Ghadir Khum setelah pelantikannya pada tahun 656.[74] Mavani juga mengutip beberapa laporan Sunni dan Syiah,[76] termasuk proses komite pemilihan khalifah pada tahun 644 ketika Ali menolak untuk terikat dengan preseden dua khalifah pertama.[77][78] Laporan lain dari ath-Thabari menunjukkan bahwa Ali sekali lagi secara terbuka mengecualikan praktik Abu Bakar dan Umar dari sunnah Muhammad ketika para pendukungnya berjanji setia kepadanya di Kufah.[79][80]
Sejumlah sejarawan kontemporer berpendapat bahwa pandangan Ali tentang suksesi sebagian besar sesuai dengan keyakinan Syiah saat ini,[81][82][72] sedangkan Veccia Vaglieri menganggap keyakinan Syiah dibuat-buat karena Ali "tidak menunjukkan kecenderungan legitimisme".[48] Sebaliknya, Madelung dan yang lainnya merinci penentangan Ali terhadap penunjukan Abu Bakar di Saqifah.[28] Namun Madelung juga menyoroti beberapa hadis Sunni di mana Ali dikabarkan memuji Abu Bakar dan Umar,[81] sementara beberapa sejarawan kontemporer cenderung mencatat bahwa hadis-hadis itu digunakan oleh Sunni untuk meminimalkan dan menetralkan konflik di antara para sahabat setelah Muhammad,[83][84][85] khususnya tentang peristiwa Saqifah.[86][87][88] Dalam Waq'at Siffin dan beberapa sumber Syiah awal lainnya, Ali menentang tindak nepotisme dan korupsi khalifah ketiga, Utsman, dan membandingkannya dengan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar yang bersih dari para pejabat yang korup.[89] Contoh terkait adalah catatan negosiasi sebelum Pertempuran Siffin (657) oleh Ibnu Muzahim, yang meriwayatkan peristiwa saat Ali mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar telah memerintah dengan menjunjung tinggi keadilan, meskipun mereka berdua telah mengambil alih kekhalifahan darinya.[90] Mavani dan Maria M. Dakake berpendapat bahwa Ali memandang suksesi Abu Bakar sebagai penyimpangan yang berubah menjadi penyimpangan besar-besaran dengan pemberontakan Mu'awiyah selama masa pemerintahannya sendiri.[91][92] Ini adalah pandangan Syiah, seperti dicatat oleh ahli hukum Syiah Ruhollah Khomeini.[93]
Politik suku
Bani Aus
Sebuah pertanyaan dapat diajukan tentang apa yang memungkinkan segelintir Muhajirin sehingga mampu memenangkan suara mayoritas Anshar di Saqifah. Ibnu Ishaq dan Caetani mengaitkan hal ini dengan kolusi sebelumnya antara Muhajirin dan Bani Aus, suku saingan Bani Khazraj di antara kaum Anshar. Madelung menyatakan bahwa Usaid bin Hudhair, seorang kepala Bani Aus, pasti mendukung Abu Bakar di Saqifah dan mewakili mayoritas Aus,[36] hal ini juga dicantumkan dalam laporan terkait dari ath-Thabari.[26] Jafri juga menunjukkan bahwa permusuhan yang mengakar antara Bani Aus dan Bani Khazraj membuat Aus lebih memilih untuk tunduk pada pemerintahan Quraisy.[94][19] Ayoub menganggap persaingan antara Bani Khazraj dan Bani Aus sebagai faktor penentu dalam pengangkatan Abu Bakar,[95] perawi Sunni al-Jahiz meriwayatkan bahwa ada suatu pihak di Saqifah yang mengingatkan kedua belah suku tentang persaingan mereka di masa lalu, hal inilah yang dikabarkan mengobarkan kembali konflik pra-Islam mereka.[96]
Bani Khazraj
Posisi Bani Khazraj semakin dilemahkan oleh persaingan internal, terutama antara pemimpin mereka Sa'ad bin Ubadah dan sepupunya Basyir bin Sa'ad. Basyir sendiri termasuk orang pertama yang memecah persatuan Khazraj dan mendukung aksesi Abu Bakar.[97][26] Setelah orang-orang yang hadir sepakat bahwa Abu Bakar akan menjadi khalifah pertama, Khazraj yang merasa takut kehilangan dukungan dari penguasa baru memutuskan untuk mendukung Abu Bakar.[26]
Bani Taim
Jafri berpendapat bahwa persaingan di antara klan-klan besar Muhajirin membuat mereka lebih mudah menerima kekuasaan Abu Bakar, yang berasal dari klan kecil Bani Taim.[35] Hal ini dikarenakan Bani Taim sendiri tidak pernah terlibat dalam perebutan kekuasaan dan konflik politik yang umum melanda klan-klan Quraisy lainnya.[98]
Bani Aslam
Madelung dan Caetani sama-sama berpendapat bahwa faktor penentu bagi Abu Bakar adalah kedatangan tepat waktu suku Bani Aslam di Madinah dengan jumlah besar yang memenuhi jalan-jalan Madinah. Suku Banu Aslam dikenal karena permusuhan mereka terhadap kaum Anshar dan siap mendukung usaha Abu Bakar untuk merebut kekuasaan.[99] Dalam riwayatnya, Umar mengatakan, "Hanya ketika saya melihat Bani Aslam saya menjadi yakin akan kemenangan [kita]." Tidak diketahui apakah kedatangan Bani Aslam ini terjadi secara kebetulan atau Bani Aslam memang telah diberi tahu tentang ambisi kaum Anshar.[100]
Bani Hasyim
Kecemburuan
Klan Muhammad, Bani Hasyim, dan khususnya pamannya Abbas bin Abdul Muthalib, cenderung mendukung suksesi Ali.[1][101] Aslan berpendapat bahwa Ali memang sengaja tidak diundang ke pertemuan Saqifah dan hal ini mencerminkan ketakutan di kalangan Quraisy yang menganggap penggabungan kenabian dan kekhalifahan di Bani Hasyim hanya akan membuat mereka terlalu kuat.[102] Percakapan tentang efek ini antara Ibnu Abbas dan Umar dikutip oleh Momen dan Madelung.[19][45] Momen menyuarakan pandangan yang mirip dengan Aslan,[103] sementara Madelung menyebut perkara ini sebagai "kecemburuan kaum Quraisy".[104] Meskipun begitu, para sejarawan ini cenderung percaya bahwa syura secara umum akan tetap mendukung Ali.[49] Para pemuka Muhajirin mungkin khawatir bahwa kekhalifahan Ali akan menjauhkan kepemimpinan masyarakat di masa depan dari pengaruh mereka, dan sebaliknya akan membuat Bani Hasyim menjadi terlalu kuat.[105]
Suksesi turun-temurun
Sejarawan modern cenderung percaya bahwa orang Arab tidak menyukai kepemimpinan turun-temurun, sementara beberapa sejarawan mengatakan bahwa sikap ini hanya ada pada orang Arab Badui. Menurut Madelung, di antara kaum Quraisy, kepemimpinan turun-temurun bukanlah hal yang aneh dan justru mencerminkan keyakinan mereka bahwa sifat-sifat mulia itu diwariskan.[51][106][107] Secara khusus, Mavani menulis bahwa nilai-nilai kesukuan tertanam kuat dalam masyarakat Arab pada masa itu, yang menjadikan kekerabatan dan garis keturunan bangsawan merupakan tanda utama identitas dan sumber otoritas.[106] Keaney percaya bahwa kepemimpinan haruslah turun-temurun dalam masyarakat Arab tradisional dan hal itu adalah hal yang umum dalam sebuah klan.[105] Bernard Lewis mengatakan bahwa tradisi Arab adalah memilih seorang syeikh dari satu keluarga. Namun, Ali adalah sepupu dan menantu Muhammad sehingga hubungannya tidak terlalu berpengaruh[108] dan pada saat itu, usia Ali masih sangat muda.[109]
Faltah
Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisham meriwayatkan bahwa Umar dalam sebuah pidatonya yang terkenal pernah mengatakan, “Aksesi Abu Bakar sebenarnya adalah sebuah faltah [kesepakatan yang tergesa-gesa dan tidak dipertimbangkan dengan baik],[110] tetapi Allah mencegah hal itu terjadi.”[26][20] Sebagai alternatif, sejarawan Sunni al-Baladzuri mengutip perkataan Umar di dalam Ansab al-Ashraf yang berkata, "Demi Tuhan, bai'at kami untuk Abu Bakar bukanlah faltah." Al-Baladzuri juga menambahkan laporan yang menyebutkan Umar mengatakan bahwa Muhammad telah menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya. Dalam riwayat lain oleh al-Baladzuri, Umar juga menepis kabar mengenai peristiwa Saqifah adalah faltah. Sejarawan modern cenderung menerima laporan Ibnu Hisyam dan Ibnu Ishaq, namun menolak laporan al-Baladzuri karena laporan ini kemungkinan besar tidak terjadi.[20][26]
Legitimasi
Madelung mencurigai bahwa Umar menganggap peristiwa Saqifah sebagai faltah karena pertemuan ini tidak melibatkan mayoritas Muhajirin dan khususnya kerabat Muhammad, yang partisipasinya sangat penting untuk mendapatkan hasil yang terbaik.[36] Mungkin karena otoritasnya turut dipertanyakan, Umar kemudian memperingatkan umat Islam dalam pidatonya agar tidak pernah menjadikan peristiwa Saqifah sebagai teladan.[111][112][113][19] Walker menambahkan bahwa kerabat Muhammad tidak puas dengan penunjukan Abu Bakar yang dinilai tergesa-gesa.[16]
Sejarawan modern cenderung mengakui keunggulan Abu Bakar dalam pidato dan kesalehannya. Akan tetapi, mereka berkomentar bahwa pengangkatan Abu Bakar adalah keputusan sekelompok sahabat dengan tergesa-gesa, terkesan memaksa, dan keberhasilannya hanya disebabkan oleh konflik golongan yang rumit.[26][16][114][115] Lebih lanjut, para sejarawan mengkritik pertemuan Saqifah sebagai "kesepakatan di belakang layar" dan "kudeta" yang sangat dipengaruhi oleh politik kesukuan pra-Islam.[16][114][115][103][116][117][118] Sejarawan modern juga mencatat bahwa kejahatan dari faltah yang menurut Umar telah dicegah oleh Tuhan kemudian akan meletus dalam bentuk Fitnah Pertama.[119]
Akibat
Umar dalam khotbahnya menegaskan bahwa "leher semua Muslim terulur [dalam kepatuhan] untuk Abu Bakar," meskipun otoritas Abu Bakar pada awalnya tidak memiliki banyak pendukung.[120] Setelah pertemuan Saqifah, Abu Bakar dikabarkan pergi menuju ke Masjid Nabawi[39] dan memberikan pidato pengukuhannya di sana.[1] Sejarawan modern menyatakan bahwa jenazah Muhammad telah dikuburkan pada saat itu[115][121] dan Abu Bakar tidak hadir pada saat upacara pemakaman.[122] Dengan bantuan suku Bani Aslam dan Bani Aus, Umar turun ke jalan-jalan untuk memastikan setiap penduduk Madinah memberikan janji setianya pada Abu Bakar.[120] Dalam urutan kronologis, Abu Bakar memperoleh dukungan dari Utsman dan Bani Umayyah, kemudian Sa'ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf, kemudian Bani Zuhrah, kemudian dari Zubair bin Awwam, dan yang terakhir dari Ali.[1]
Oposisi Ali
Al-Baladzuri melaporkan bahwa Bani Hasyim dan beberapa sahabat berkumpul di rumah Ali setelah mengetahui tentang pengangkatan Abu Bakar.[123][28] Di antara mereka adalah paman Muhammad, Abbas dan hawarī (terj. har. 'pengikut setia') Muhammad, Zubair bin Awwam.[28] Mereka berpendapat bahwa Ali adalah penerus sah Muhammad,[124][125] hal ini mungkin mengacu pada khotbah Muhammad di Ghadir Khum yang menyebutkan bahwa Ali adalah penggantinya.[126] Miqdad, Salman, Abu Dzar, dan Thalhah juga termasuk di antara para sahabat yang memberikan dukungan mereka kepada Ali.[127]
Ancaman terhadap Ali
Disebutkan bahwa Abu Bakar telah menugaskan Umar untuk mendapatkan bai'at Ali.[128][39] Seperti yang diriwayatkan oleh ath-Thabari,[120] Umar kemudian memimpin massa dengan membawa senjata ke kediaman Ali dan mengancam akan membakar rumah jika Ali dan para pendukungnya tidak berjanji setia kepada Abu Bakar.[39][124][129][130] Peristiwa itu segera berubah menjadi kekerasan,[120][131] tetapi Umar memutuskan untuk mundur tanpa mendapatkan bai'at Ali setelah istrinya, Fatimah keluar dan memohon kepada mereka untuk tidak melakukan kekerasan,[39] hal ini juga dicatat dalam catatan sejarah Sunni, al-Imamah wal Siyasah.[132] Sementara itu, al-Baladzuri menyatakan bahwa Ali memutuskan untuk menyerah dan berjanji setia kepada Abu Bakar segera setelah Umar mengancamnya sehingga kekerasan tidak terjadi.[133] Sebaliknya, kitab hadis kanonik Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim menceritakan bahwa Ali baru berbai'at kepada Abu Bakar setelah Fatimah meninggal beberapa waktu kemudian.[134]
Pemboikotan terhadap Ali
Sejarawan modern percaya bahwa Abu Bakar kemudian memboikot Ali dan juga Bani Hasyim, dengan tujuan agar mereka tidak lagi memihak kepada Ali.[135][136] Akibatnya, orang-orang terkemuka berhenti berbicara dengan Ali, sebagaimana diceritakan dalam hadits Sunni yang dikaitkan dengan Aisyah.[135] Para sahabat yang awalnya mendukung Ali berangsur-angsur berbalik dan berjanji setia kepada Abu Bakar.[137] Pada saat yang sama, Ali menarik kembali tuntutan haknya atas jabatan khalifah yang menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah satu-satunya di Madinah.[138][48] Para sejarawan sepakat bahwa hal ini dilakukan oleh Ali untuk menjaga kesatuan umat Islam yang baru lahir.[71][70][64]
Penyerangan terhadap rumah Ali dan bai'atnya terhadap Abu Bakar
Meskipun ada banyak ketidakpastian tentang peristiwa tersebut,[120][137][128][124] Ali kemungkinan besar tidak berjanji setia kepada Abu Bakar sampai Fatimah meninggal dunia enam bulan setelah kematian ayahnya, Muhammad. Hal ini juga dilaporkan oleh beberapa karya Sunni kanonik.[134] Dalam sumber-sumber Syiah, kematian (dan keguguran) Fatimah yang masih berusia muda dikaitkan dengan serangan terhadap rumahnya untuk mendapatkan janji setia dari Ali atas perintah Abu Bakar.[139][124][125][140] Sunni dengan tegas menolak tuduhan ini.[140] Setelah kematian Fatimah dan dengan tidak adanya dukungan dari rakyat, disebutkan bahwa Ali telah melepaskan klaimnya atas kekhalifahan demi kesatuan umat Islam yang pada saat itu sedang menghadapi ancaman internal dari kaum Murtad, yang ditambah dengan ancaman eksternal dari Kekaisaran Bizantium dan Sasaniyah.[77][69][138][141] Sejak kematian Muhammad,[78][77] Ali diyakini telah pensiun dari kehidupan publik dan politik selama kekhalifahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman,[142] yang telah ditafsirkan oleh Syiah sebagai bentuk kecaman terhadap tiga khalifah pertama.[78] Sementara itu, dia dikabarkan telah memberikan nasihat Abu Bakar dan Umar dalam urusan pemerintahan dan agama.[142][143] Ketidakpercayaan dan permusuhan Ali dengan kedua khalifah terdokumentasi dengan baik,[144][145][115] tetapi sebagian besar diremehkan atau diabaikan dalam sumber-sumber Sunni.[146][83] Hal ini dibuktikan selama proses komite pemilihan khalifah tahun 644 saat Ali menolak untuk mengikuti contoh dari Abu Bakar dan Umar.[77][78] Sebaliknya, Syiah cenderung memandang sumpah setia Ali kepada Abu Bakar sebagai tindakan yang dipaksakan oleh kondisi politik atau yang mereka sebut sebagai taqiyah.[63] Dengan demikian, Syiah menolak bahwa Ali pernah berjanji setia kepada Abu Bakar dan Umar.[147] Tuduhan bahwa Ali berjanji kepada Abu Bakar di bawah tekanan muncul juga dalam al-Imamah wal Siyasah,[148] yang dikaitkan dengan Ibnu Qutaibah tetapi mungkin ditulis oleh penulis Sunni lain di era Abbasiyah.[31] Konflik-konflik yang terjadi setelah kematian Muhammad ini dianggap sebagai akar perpecahan di kalangan umat Islam saat ini.[3] Mereka yang menerima kekhalifahan Abu Bakar kemudian diberi label Sunni, sedangkan pendukung hak kekhalifahan Ali kemudian membentuk kelompok Syiah.[149]
Pemerintahan Abu Bakar
Peristiwa Saqifah mengawali masa pemerintahan Abu Bakar,[150] yang kemudian memutuskan untuk mengadopsi gelar Khalīfaṫur Rasūlillāh (خَـلِـيْـفَـةُ رَسُـوْلِ اللهِ) yang berarti "Penerus Utusan Allah" atau hanya khalifah.[151]
Setelah kematian Muhammad, kemurtadan menyebar ke seluruh Jazirah Arab.[152] Beberapa orang kepala suku mengeklaim telah mendapat wahyu kenabian dan mendeklarasikan dirinya sebagai nabi.[153] Insiden kemurtadan pertama yang dilakukan oleh Aswad al-Ansi berhasil diakhiri sebelum kematian Muhammad. Namun, segera setelahnya, Musailamah mendeklarasikan dirinya sebagai nabi baru.[154][155] Sementara itu, beberapa di antara klan-klan Arab tidak menunjukkan dengan jelas permusuhannya dan hanya menolak membayar zakat.[153] Suku-suku ini mengeklaim bahwa mereka hanya setia kepada Muhammad, dan dengan kematian Muhammad maka kesetiaan mereka berakhir.[156] Abu Bakar bersikeras bahwa mereka tidak hanya tunduk kepada seorang pemimpin tetapi juga bergabung dengan sebuah ummah (أُمَّـة, terj. har. 'komunitas') dan menjadikannya sebagai pemimpin yang baru.[157]
Namun, kebijakan pertama yang diambil oleh Abu Bakar setelah menjabat sebagai khalifah adalah mengirim sebuah ekspedisi yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid ke Yordania dan memulai serangan ke Kekaisaran Romawi Bizantium.[158] Pada awalnya, keputusan Abu Bakar sempat ditentang oleh tokoh terkemuka Madinah mengingat kelompok murtad berpotensi untuk menyerang Madinah.[159] Abu Bakar bersikeras bahwa pengiriman ekspedisi ini termasuk wasiat Muhammad yang harus dijalankan, hingga akhirnya pasukan Usamah diberangkatkan. Diluar perkiraan, ekspedisi Usamah berhasil meraih kemenangan dan membawa harta rampasan yang banyak saat pulang ke Madinah.[160]
Setelah ekspedisi Usamah kembali ke Madinah, Abu Bakar menyiapkan sebelas pasukan untuk memerangi orang-orang murtad. Kesebelas pasukan itu dipimpin oleh jenderal Muslim yang berpengalaman, antara lain Ikrimah bin Abu Jahal, Khalid bin Walid, Amr bin Ash, dan Syurahbil bin Hassanah.[161] Rencana Abu Bakar adalah memerangi pemberontak di wilayah Najd dan Arab Barat di dekat Madinah, kemudian menangani Malik bin Nuwairah dan pasukannya antara Najd dan al-Bahrain, dan akhirnya berkonsentrasi melawan musuh paling berbahaya, Musailamah dan sekutunya di al-Yamamah. Dalam serangkaian kampanye militer tersebut, pasukan Muslim memenangkan berbagai pertempuran, diantaranya adalah Pertempuran Buzakhah dan Pertempuran Dzul Qassa.[162] Pada akhirnya, Khalid bin Walid berhasil mengalahkan Musailamah dalam Pertempuran Yamamah.[163][164]
Setelah perang Riddah selesai, Abu Bakar menetapkan kebijakan untuk melakukan kodifikasi terhadap Al-Qur'an, kitab suci Muslim.[165] Komite kodifikasi dipimpin oleh Zaid bin Tsabit, salah satu juru tulis Muhammad. Kodeks yang telah selesai dipersembahkan kepada Abu Bakar.[166] Abu Bakar kemudian juga mengirim ekspedisi ke wilayah Suriah dan Irak, yang kemudian akan memulai Penaklukan Muslim atas Suriah.[167] Masa pemerintahan Abu Bakar terbilang singkat, masa pemerintahannya berakhir ketika ia meninggal dunia pada bulan Agustus 13 H/634 M.[168]
Lihat pula
- Suksesi Muhammad
- Daftar sahabat yang menolak berbai'at kepada Abu Bakar
- Serangan pada rumah Fatimah
- Kekhalifahan Rasyidin
Referensi
- ^ a b c d e f g Lecomte 2022.
- ^ Jafri 1979, hlm. 23, 32.
- ^ a b Jafri 1979, hlm. 23.
- ^ a b c Jafri 1979, hlm. 29.
- ^ Jafri 1979, hlm. 26.
- ^ a b c d Jafri 1979, hlm. 33.
- ^ a b c Madelung 1997, hlm. 28.
- ^ Jafri 1979, hlm. 31.
- ^ Jafri 1979, hlm. 32.
- ^ Madelung 1997, hlm. 20.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 15.
- ^ Jafri 1979, hlm. 25-6.
- ^ Madelung 1997, hlm. 29.
- ^ Jafri 1979, hlm. 34-5.
- ^ Hawa 2017, hlm. 47.
- ^ a b c d Walker 2014, hlm. 3.
- ^ a b c Jafri 1979, hlm. 34.
- ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 31.
- ^ a b c d e f Momen 1985, hlm. 19.
- ^ a b c d e Madelung 1997, hlm. 30.
- ^ Jafri 1979, hlm. 35.
- ^ Madelung 1997, hlm. 31–32.
- ^ Arnold 2016, hlm. 15–16.
- ^ a b c Jafri 1979, hlm. 36.
- ^ Arnold 2016, hlm. 15.
- ^ a b c d e f g h i Jafri 1979, hlm. 39.
- ^ Madelung 1997, hlm. 38-40.
- ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 32.
- ^ a b c Jafri 1979, hlm. 37.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 37.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 17.
- ^ a b c Momen 1985, hlm. 18.
- ^ Madelung 1997, hlm. 37-8.
- ^ Madelung 1997, hlm. 39.
- ^ a b Jafri 1979, hlm. 38.
- ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 33.
- ^ Madelung 1997, hlm. 34-5.
- ^ a b c Madelung 1997, hlm. 35.
- ^ a b c d e Jafri 1979, hlm. 40.
- ^ a b Jafri 1979, hlm. 37-8.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 14.
- ^ Lalani 2000, hlm. 3.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 36.
- ^ a b McHugo 2018, §1.III.
- ^ a b c Madelung 1997, hlm. 40.
- ^ a b Ayoub 2014, hlm. 9.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 40-1.
- ^ a b c d e Veccia Vaglieri 2022.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 41-2.
- ^ a b Shaban 1976, hlm. 16.
- ^ a b c Aslan 2011, hlm. 118.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 42.
- ^ Aslan 2011, hlm. 117.
- ^ Aslan 2011, hlm. 117-8.
- ^ Madelung 1997, hlm. 8.
- ^ Madelung 1997, hlm. 17.
- ^ Jafri 1979, hlm. 14-16.
- ^ Madelung 1997, hlm. 12–16.
- ^ Jafri 1979, hlm. 16.
- ^ Abbas 2021, hlm. 58, 64–66.
- ^ Madelung 1997, hlm. 16-7.
- ^ Jafri 1979, hlm. 14-22.
- ^ a b Shah-Kazemi 2022, hlm. 81.
- ^ a b c Ayoub 2014, hlm. 24.
- ^ Madelung 1997, hlm. 141, 253.
- ^ Mavani 2013, hlm. 113-4.
- ^ Momen 1985, hlm. 62.
- ^ a b Shah-Kazemi 2022, hlm. 79.
- ^ a b c d Madelung 1997, hlm. 141.
- ^ a b Jafri 1979, hlm. 44-5.
- ^ a b Momen 1985, hlm. 19-20.
- ^ a b Daftary 2014, hlm. 27.
- ^ Mavani 2013, hlm. 114, 117.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 253.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 9, 24.
- ^ Mavani 2013, hlm. 113-5, 131-2.
- ^ a b c d Mavani 2013, hlm. 117.
- ^ a b c d Anthony 2013.
- ^ Madelung 1997, hlm. 252-3.
- ^ McHugo 2018, hlm. 62.
- ^ a b Madelung 2022.
- ^ Lalani 2006, hlm. 590.
- ^ a b Shah-Kazemi 2022, hlm. 78.
- ^ Lucas 2004, hlm. 255-84.
- ^ Soufi 1997, hlm. 120.
- ^ Khetia 2013, hlm. 39.
- ^ Jafri 1979, hlm. 43.
- ^ Soufi 1997, hlm. 83.
- ^ Dakake 2008, hlm. 260.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 113.
- ^ Mavani 2013, hlm. 114.
- ^ Dakake 2008, hlm. 50.
- ^ Mavani 2013, hlm. 204n8.
- ^ Jafri 1979, hlm. 38-9.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 23.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 11-2.
- ^ Madelung 1997, hlm. 33-4.
- ^ Jafri 1979, hlm. 38–39.
- ^ Madelung 1997, hlm. 34–35.
- ^ Madelung 1997, hlm. 34.
- ^ Shu'ayb 2013, hlm. 524.
- ^ Aslan 2011, hlm. 118-9.
- ^ a b Momen 1985, hlm. 18-9.
- ^ Madelung 1997, hlm. 68.
- ^ a b Keaney 2021, §3.1.
- ^ a b Mavani 2013, hlm. 34.
- ^ Afsaruddin 2013, hlm. 185.
- ^ Lewis 1968, hlm. 50.
- ^ Aslan 2011, hlm. 118–119.
- ^ Madelung 1997, hlm. 22.
- ^ Mavani 2013, hlm. 2.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 41.
- ^ Abbas 2021, hlm. 93.
- ^ a b Gross 2012, hlm. 58.
- ^ a b c d Abbas 2021, hlm. 94.
- ^ Cooperson 2000, hlm. 25.
- ^ Madelung 1997, hlm. 56.
- ^ Lewis 1968, hlm. 51.
- ^ Madelung 1997, hlm. 147.
- ^ a b c d e Madelung 1997, hlm. 43.
- ^ Hazleton 2009, hlm. 65.
- ^ McHugo 2018, hlm. 41.
- ^ Khetia 2013, hlm. 31-2.
- ^ a b c d Buehler 2014, hlm. 186.
- ^ a b Fedele 2018.
- ^ Amir-Moezzi 2022.
- ^ Steigerwald 2004, hlm. 35.
- ^ a b Abbas 2021, hlm. 97.
- ^ Qutbuddin 2006, hlm. 249.
- ^ Cortese & Calderini 2006, hlm. 8.
- ^ Jafri 1979, hlm. 41.
- ^ Khetia 2013, hlm. 34.
- ^ Soufi 1997, hlm. 84.
- ^ a b Soufi 1997, hlm. 86.
- ^ a b Madelung 1997, hlm. 43-4.
- ^ Jafri 1979, hlm. 40-41.
- ^ a b Jafri 1979, hlm. 40-1.
- ^ a b Jafri 1979, hlm. 44.
- ^ Khetia 2013, hlm. 78.
- ^ a b Abbas 2021, hlm. 98.
- ^ Momen 1985, hlm. 19, 20.
- ^ a b Nasr & Afsaruddin 2021.
- ^ Poonawala 1982.
- ^ Aslan 2011, hlm. 122.
- ^ Madelung 1997, hlm. 42, 52–54, 213-4.
- ^ Jafri 1979, hlm. 45.
- ^ Lalani 2000, hlm. 22.
- ^ Ayoub 2014, hlm. 20.
- ^ Badie 2017, hlm. 3.
- ^ Madelung 1997, hlm. 31–35.
- ^ Claire Alkouatli (2007). Islam (edisi ke-illustrated, annotated). Marshall Cavendish. hlm. 40–44. ISBN 9780761421207.
- ^ Nasution 2013, hlm. 65.
- ^ a b Donner 1981.
- ^ Nasution 2013, hlm. 65–67.
- ^ Donner 1993, hlm. 46.
- ^ Donner 1993, hlm. 45–47.
- ^ Gianluca Paolo Parolin, Citizenship in the Arab World: Kin, Religion and Nation-state (Amsterdam University Press, 2009), 52.
- ^ Gil 1997, hlm. 31.
- ^ Gil 1997, hlm. 31-32.
- ^ Gil 1997, hlm. 32–33.
- ^ Nasution 2013, hlm. 66.
- ^ Donner 1993, hlm. 45-6.
- ^ Yilmaz, Omer (2015). The Age of Bliss: Khalid ibn Al-Walid. Clifton, NJ: Tughra Books. hlm. 54. ISBN 978-1-59784-379-9.
- ^ 'Abd Al-Husein Zarrinkub, The Arab Conquest of Iran and Its Aftermath, The Cambridge History of Iran, Volume 4, ed. William Bayne Fisher, Richard Nelson Frye (Cambridge University Press, 1999), 5–9.
- ^ Herlihy 2012, hlm. 76–77.
- ^ Herlihy 2012, hlm. 76.
- ^ Nardo, Don (2011). The Islamic Empire. Lucent Books. hlm. 30, 32. ISBN 9781420506341.
- ^ İsmet Uzun, Mustafa (2013). "YÂR-ı GĀR (Companion of the cave)". TDV Encyclopedia of Islam (dalam bahasa Turki).
Sumber
- Abbas, Hassan (2021). The Prophet's Heir: The life of Ali ibn Abi Talib. Yale University Press. ISBN 9780300252057.
- Afsaruddin, Asma (2013). The First Muslims: History and Memory. Oneworld Publications. ISBN 9781780744483.
- Amir-Moezzi, Mohammad Ali (2022). "Ghadīr Khumm". Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Third). Brill Reference Online.
- Anthony, Sean W. (2013). "'Ali b. Abi Talib (ca. 599-661)". Dalam Bowering, Gerhard. The Princeton encyclopedia of Islamic political thought. Princeton University Press. hlm. 30–2. ISBN 9780691134840.
- Arnold, Thomas W. (2016). The Caliphate. Taylor and Francis. ISBN 9781315443225.
- Aslan, Reza (2011). No god but God: The Origins, Evolution, and Future of Islam. Random House. ISBN 9780812982442.
- Ayoub, Mahmoud M. (2014). The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam. Oneworld Publications. ISBN 9781780746746.
- Badie, Dina (2017). After Saddam: American Foreign Policy and the Destruction of Secularism in the Middle East. Lexington Books. hlm. 3. ISBN 978-1-4985-3900-5.
- Buehler, Arthur F. (2014). "FATIMA (d. 632)". Dalam Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani. Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopaedia of the Prophet of God. 1. ABC-CLIO. hlm. 182–7. ISBN 9781610691772.
- Cooperson, Michael (2000). Classical Arabic Biography: The Heirs of the Prophets in the Age of al-Ma'mun. Cambridge University Press. ISBN 978-1-139-42669-5.
- Cortese, Delia; Calderini, Simonetta (2006). Women and the Fatimids in the World of Islam (edisi ke-First). Edinburgh University Press. ISBN 978-0748617333.
- Daftary, Farhad (2014). A History of Shi'i Islam. Bloomsbury Academic. ISBN 9781780768410.
- Dakake, Maria Massi (2008). The Charismatic Community: Shi'ite Identity in Early Islam. SUNY Press. ISBN 978-0-7914-7033-6.
- Donner, Fred M. (1981). The Early Islamic Conquests. Princeton University Press. hlm. 85–87. ISBN 9781400847877.
- Donner, Fred M., ed. (1993). The History of al-Ṭabarī, Volume X: The Conquest of Arabia, A.D. 632–633/A.H. 11. Seri SUNY dalam Studi Timur Dekat. Albany, New York: State University of New York Press. ISBN 978-0-7914-1071-4.
- Fedele, Valentina (2018). "FATIMA (605/15-632 CE)". Dalam de-Gaia, Susan. Encyclopedia of Women in World Religions. ABC-CLIO. hlm. 56. ISBN 9781440848506.
- Gil, Moshe (1997). A History of Palestine, 634–1099. Diterjemahkan oleh Ethel Broido. Cambridge: Cambridge University Press. ISBN 0-521-59984-9.
- Gross, Max (2012). "Shi'a Muslims and Security: the Centrality of Iran". Dalam Seiple, Chris; Hoover, Dennis; Otis, Pauletta. The Routledge handbook of religion and security. Routledge. ISBN 9781136239328.
- Hawa, Salam (2017), The Erasure of Arab Political Identity: Colonialism and Violence, Taylor & Francis, ISBN 978-1-317-39006-0
- Hazleton, Lesley (2009). After the Prophet: The Epic Story of the Shia-Sunni Split in Islam. Knopf Doubleday Publishing Group. ISBN 9780385532099.
- Herlihy, John (2012). Islam for Our Time: Inside the Traditional World of Islamic Spirituality. ISBN 9781479709977.
- Jafri, S.H.M (1979). Origins and Early Development of Shia Islam. London: Longman.
- Keaney, Heather N. (2021). 'Uthman ibn 'Affan: Legend or Liability?. Oneworld Publications. ISBN 9781786076984.
- Khetia, Vinay (2013). Fatima as a Motif of Contention and Suffering in Islamic Sources (Tesis). Concordia University. https://spectrum.library.concordia.ca/976817/.
- Lalani, Arzina R. (2000). Early Shi'i Thought: The Teachings of Imam Muhammad al-Baqir. I. B. Tauris. ISBN 978-1860644344.
- Lalani, Arzina R. (2006). "Shi'a". Dalam Leaman, Oliver. The Qurʼan: an encyclopedia. Routledge. hlm. 586–93. ISBN 9-78-0-415-32639-1.
- Lecomte, G. (2022). "Al-Saḳīfa". Dalam Bearman, P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). Brill Reference Online.
- Lewis, Bernard (1968). The Arabs in History. Hutchinson & Co.
- Lucas, Scott C. (2004). Constructive Critics, Ḥadīth Literature, and the Articulation of Sunnī Islam: The Legacy of the Generation of Ibn Saʻd, Ibn Maʻīn, and Ibn Ḥanbal. Brill. ISBN 9789004133198.
- Madelung, Wilferd (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge University Press. ISBN 0-521-64696-0.
- Madelung, W. (2022). "S̲h̲īʿa". Dalam Bearman, P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). Brill Reference Online.
- Mavani, Hamid (2013). Religious authority and political thought in Twelver Shi'ism: From Ali to post-Khomeini. Routledge. ISBN 9780415624404.
- McHugo, John (2018). A Concise History of Sunnis and Shi'is. Georgetown University Press. ISBN 9781626165885.
- Momen, Moojan (1985). An Introduction to Shi'i Islam. Yale University Press. ISBN 9780853982005.
- Nasr, Seyyed Hossein; Afsaruddin, Asma (2021). "ʿAlī". Encyclopedia Britannica.
- Nasution, Syamruddin (2013). Sejarah Peradaban Islam (dalam bahasa Inggris). Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau. hlm. 63.
- Poonawala, I.K. (1982). "ʿALĪ B. ABĪ ṬĀLEB I. Life". Encyclopaedia Iranica, Online Edition.
- Qutbuddin, Tahera (2006). "FATIMA (AL-ZAHRA') BINT MUHAMMAD (CA. 12 BEFORE HIJRA-1 1/CA. 610-632)". Dalam Meri, Josef W. Medieval Islamic Civilization: An Encyclopedia. Routledge. hlm. 248–50. ISBN 978-0415966900.
- Shaban, M.A. (1976). Islamic History: Volume 1, AD 600-750 (AH 132): A New Interpretation. Cambridge University Press. ISBN 9780521291316.
- Shah-Kazemi, Reza (2022). Imam 'Ali: Concise History, Timeless Mystery. I.B. Tauris. ISBN 9781784539368.
- Shu'ayb, Fiazuddin (2013). "succession". Dalam Bowering, Gerhard; Crone, Patricia; Kadi, Wadad; Mirza, Mahan; Stewart, Devin J.; Zaman, Muhammad Qasim. The Princeton Encyclopedia of Islamic Political Thought. Princeton University Press. hlm. 524–6. ISBN 9780691134840.
- Soufi, Denise Louise (1997). The Image of Fatima in Classical Muslim Thought (Tesis PhD). Princeton University. ProQuest 304390529. https://www.proquest.com/docview/304390529.
- Steigerwald, Diana (2004). Martin, Richard C., ed. Encyclopedia of Islam and the Muslim World. First. Macmillan Reference USA. hlm. 35–8. ISBN 9780028656045.
- Veccia Vaglieri, L. (2022). "ʿAlī B. Abī Ṭālib". Dalam Bearman, P. Encyclopaedia of Islam (edisi ke-Second). Brill Reference Online.
- Walker, Adam H. (2014). "ABU BAKR AL-SIDDIQ (C. 573-634)". Dalam Fitzpatrick, Coeli; Walker, Adam Hani. Muhammad in History, Thought, and Culture: An Encyclopaedia of the Prophet of God. 1. ABC-CLIO. hlm. 1–4. ISBN 9781610691772.